Ilustrasi saat membuat kue nastar bersama sang Ibu. Foto:Pexels.com/Andrea Piacquadio |
Angin sunyi dengan suara kicauan burung terdengar beradu, terlihat kedua matamu memperhatikan sosok wanita dewasa yang sedang menguleni adonan kuenya. Kamu tersenyum kecil ketika wanita yang berperan menjadi ibumu menyeletuk singkat.
“Ih,
halus banget adonannya, Dit,” ucap Ibumu dengan nada antusias.
Kamu
pun mendekatkan posisi tubuh ke arah sang Ibu, betapa cantiknya warna kuning
seperti kuning telur adonan kue itu. Tercetak di bibirmu, ujung garis bibir
yang tertarik ke atas membuat kamu ingin mencoba menyentuh adonan untuk
merasakan tekstur kue buatan ibumu. Toel,
kamu mencoba memasukkan jari telunjukmu ke adonan untuk merasakan teksturnya.
Kue
nastarnya pasti enak deh, katamu setelah mengetahui bagaimana tekstur dari
adonan kue itu. Ibumu ikut tersenyum, lalu melanjutkan menguleni adonan hingga
adonan tersebut tidak lengket di wadah. Sedangkan kamu masih fokus melihat
tangan sang Ibu yang luwes memainkan adonan kue, kamu pun merasa takjub hingga
tanpa sadar mulutmu membentuk huruf ‘O’.
Hampir
10 menit berlalu, sebuah adonan berwarna kuning yang telah berbentuk bulat
ukuran besar telah siap dibentuk menjadi bulat-bulat kecil. Kamu langsung
berlari kecil menuju kamar mandi untuk mencuci tangan, tak lupa sabun cair yang
sukses membuat kamu diperbolehkan oleh ibumu memegang adonan tersebut untuk
dibentuk menjadi bulat kecil.
Adik
perempuanmu pun, ikut membantumu membentuk adonan yang di dalamnya diisi selai
nanas yang warnanya kuning sangat kecokelatan. Bau harum tercium melintasi
bulu-bulu hidungmu, lantas sedikit membuat dirimu ingin mencicipi rasa dari
selai tersebut saat kamu sedang berpuasa. Cepat tersadar, untunglah selai yang
menggoda itu tidak sampai di indera pengecapmu.
Nanas
yang telah diparut, vanili bubuk, gula kemudian diaduk menjadi satu di atas teflon
hingga wangi harum tercium membuat nyaman. Kamu seakan tengah berimajinasi,
membayangkan semua bahan-bahan itu kini tercampur rata menjadi sebuah selai
nanas yang nantinya akan kamu santap juga ketika lebaran tiba.
Ayo
dibuletin lagi, Dita, teguran ibumu lantas membuat kamu tersadar agar segera
berpindah dari imanjinasi ke dunia nyata. Ya, kamu sedang membulat-bulatkan
adonan lalu mengisi bulatan tersebut dengan selai nanas secukupnya sesuai
dengan apa yang ibumu katakan sebelum membut kue. Kamu dengan gerakan tangan
berusaha membuat secantik mungkin adonan tersebut.
Kedua
tanganmu bergerak, namun pandangan matamu melihat ke sekitar di mana beberapa
barang seperti baskom berukuran sedang, sendok teh, ballon whisk (kocokan telur), tiga piring untuk meletakkan kue
berisi selai nanas yang telah dibentuk bulat, kuas dan mangkuk kecil berisi
telur putih. Hingga tak terasa, adonan kue yang akrab disebut nastar tersebut
mengecil.
Senang
banget hampir selesai nastarnya, batinmu.
Kamu akhirnya dapat bernapas lega dan duduk bersantai setelah adonan kue tersebut habis, sisanya ibumu yang memanggang kue-kue tersebut di dapur. Kamu beralih memainkan handphone, sedangkan tanpa sadar beberapa kue nastar telah tersaji di toples berukuran sedang. Ibumu seraya menunggu kue yang lainnya matang, piring berisi kue nastar yang baru matang diarahkan ke kipas angin agar dingin dan kue bertahan lama tidak cepat jamuran.
“Ini
setengah kilo jadinya dua toples doang ya, Ma?” tanyamu ketika sang Ibu sedang
menata kue-kue yang telah dingin masuk ke toples.
Ibumu
mengangguk, lumayan banyak kan daripada beli mahal, balas ibumu atas pertanyaan
yang barusan kamu tanyakan. Aroma kue nastar yang menurutmu lebih menggoda
dibandingkan selai nanas yang tadi terhirup oleh hidungmu, kamu menggoyangkan
tangan dan tubuh seakan senang pencapaian dari pagi hingga siang yang
membawakan hasil kue sangat memuaskan.
Aku
gak sabar nunggu lebaran, batinmu seraya melihat kue-kue itu tersaji rapih di
dalam toples yang telah tertutup rapat. Ibumu pun, membereskan peralatan kotor
dan kamu membantu membawakan peralatan yang tersisa ke dapur untuk dicuci. Dua
toples berisi kue nastar telah jadi, siap dinikmati saat hari Idulfitri tiba.
0 Komentar