Kamu setuju kan, jika Indonesia memiliki jutaan tradisi daerah? Ya, salah satunya di Jawa Timur memiliki radisi nyadran atau sedekah bumi yang merupakan bentuk rasa syukur masyarakat daerah terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas rezeki yang telah diberikan.
Salah
satunya di Desa Karang Dinoyo, Bojonegoro yang masih melestarikan tradisi nenek
moyang mereka. Walaupun ada beberapa
desa di Bojonegoro sudah tidak melaksanakan tradisi nyadran ini, karena
masyarakat menganggap tradisi yang dilakukan dalam nyadran adalah hal yang menyekutukan
Tuhan.
Tetapi
Angeli Valencia Pratiwi, seorang mahasiswi Jurusan Teknik Grafika danPenerbitan 2020 di Politeknik Negeri Jakarta yang merupakan salah
satu masyarakat Desa Karang Dinoyo masih melakukan tradisi nyadran ini.
“Iya.
Di tempat aku masih ngadain ya,
soalnya emang dari dulu udah ada.
Jadi mau diputusin pun, kayak malah takutnya gak hormati tradisi sesepuh desa gitu,” tutur perempuan yang akrab disapa Enji.
Ilustrasi ketika masyarakat melakukan tradisi nyadran. Foto:Pexels.com/Viresh Studio. |
Mencari
tahu lebih dalam terkait tradisi nyadran, di desa yang menjadi kelahiran Enji
melaksanakan nyadran hanya satu kali dalam setahun.Penetapan
waktu tradisi nyadran dilakukan tidak selalu tetap, karena ada salah satu tokoh
terpercaya di desa kemudian, akan didiskusikan oleh kepala desa yang
bersangkutan.
Namun,
Enji mengatakan kalau biasanya di antara bulan Juli–Agustus diadakan tradisi
nyadran. Di antara bulan tersebutlah, akan dilaksanakan tradisi nyadran
dengan membagi pangan antar tetangga dekat maupun jauh. Biasanya banyak
keluarga yang lebih memilih membagikan makanan ke tetangga sebelum hari nyadran
tiba.
Keluarga
Enji pun, menyiapkan makanan untuk dibagi ke tetangga atau ke saudara
seminggu sebelum hari nyadran tiba. Ya, dikatakan oleh perempuan kelahiran
Bojonegoro tersebut jika alasan keluarganya menyiapkan makanan sebelum hari
nyadran agar tidak repot-repot lagi, dan hanya menerima makanan dari tetangga lain
atau saudara.
Bisa dikatakan, hari sebelum dilaksanakannya nyadran, masyarakat desa sudah boleh membagikan makananannya. Enji juga menambahkan, ada beberapa keluarga yang sudah membagikan makanan dua minggu sebelum hari nyadran tiba.
Setelah
ditentukan waktu hari nyadran tiba, biasanya para keluarga di desa sudah mempertimbangkan
akan menyiapkan makanan untuk dibagi ke tetangga di hari apa.
Pembagian
makanan pun, tergantung dari berapa banyak rezeki panen yang didapatkan setiap
masyarakat di Desa Karang Dinoyo. Kalaupun memiliki rezeki lebih banyak,
biasa dibagikan ke tetangga jauh, kalau cukup rezeki tidak apa
membagikan makanan hanya ke tetangga terdekat sekitaran rumah saja.
Tradisi
nyadran ini memiliki ciri khas hidangan yang selalu ada saat dibagikan
makanan ke tetangga, atau ketika datang ke pemakaman. Kira-kira, hidangan apa
itu ya?
“Paling
ada pas nyadran itu, orang-orang bagiin
ke tetangga ada krecek, kerupuk opak pasti ada. Pokoknya, kalau jajanan itu ada
dan banyak makanananya tuh,” tutur Enji.
Informasi
tambahan, krecek itu sendiri merupakan olahan kerupuk berasal dari kulit sapi
yang dikeringkan sedangkan opak adalah kerupuk berbentuk bulat lebar.
Ketika di hari nyadran tiba, Enji mengatakan kalau masyarakat desa bersama-sama datang ke pemakaman. Pemakaman ini dipercaya masyarakat Desa Karang Dinoyo merupakan makam cucu wali sanga yang suci.
Bukan tanpa alasan, makam suci ini dibuatkan sebuah rumah
khusus serta hanya orang-orang tertentu yang boleh masuk melihat makam cucu wali
sanga tersebut.
Setiap
hari tradisi nyadran tiba, masyarakat desa hanya berdoa di luar pemakaman.
Setelahnya, mereka mengumpulkan makanan yang dibawa masing-masing keluarga kemudian
dibagikan kepada masyarakat desa yang datang juga di pemakaman.
Enji menceritakan hal unik dalam tradisi nyadran ini, yakni udik duwek. Udik duwek merupakan kegiatan masyarakat desa yang membawa koin
untuk melemparkan koin-koin tersebut yang kemudian akan diambil oleh anak-anak
kecil yang sedaritadi menunggu waktu pelemparan koin ini. Anak-anak tersebut
pun tidak mengikuti doa, namun hanya menunggu udik duwek di pemakaman.
Setelah
dilakukan doa ke pemakaman di hari nyadran, malam hari di Balai Desa Karang
Dinoyo mengadakan acara yang menampilkan tarian remong dan wayang yang tampil
dari langit gelap hingga pagi tiba. Penampilan wayang ini pun, justru yang
lebih dipilih oleh Enji dibandingkan harus ikut berdoa ke pemakaman.
Tidak
ikutserta Enji bukan tanpa sebab, melainkan ada cerita tersendiri di dalamnya.
Enji menceritakan, kalau perjalanan menuju ke pemakanan tidak banyak orang lalu
lalang dan posisi pemakaman yang dekat dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), juga
pernah ada siswa SMP yang kesurupan sehingga menambah ketakutan untuk Enji
datang ke pemakaman.
Membahas
terkait membagikan makanan, nyatanya masyarakat desa tidak hanya berbagi ke
tetangga dan dibawa ke pemakaman saja. Masyarakat desa juga membawa makanan ke
balai desa untuk dibagi-bagi ke setiap orang yang mengisi acara, seperti
panitia, pemain wayang, pemain gamelan hingga para penari.
Di akhir wawancara, Enji memberikan tanggapan terkait tradisi daerahnya yang kini telah memasuki zaman modern.
Menurut perempuan kelahiran Bojonegoro tersebut,
tradisi nyadran tetap harus dipertahankan dalam hal positif. Apalagi tradisi
ini sudah ada sejak zaman para nenek moyang, dan bisa menjadi identitas daerah.
Berharap tradisi ini tetap ada, jangan sampai tergantikan dengan budaya baru di
zaman modern.
Tulisan ini sebelumnya telah diunggah di Kumparan.com
https://kumparan.com/dita-mawanda-1653723818198716320/tradisi-nyadran-di-era-modern-1yImn0MPdv9
0 Komentar